Kasedata.id — Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Maluku Utara (Malut) mendesak Polda Malut segera membebaskan 11 warga adat Maba Sangaji yang ditetapkan sebagai tersangka usai melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas PT Position pada 16 Mei 2025 lalu.
Aksi protes masyarakat adat Maba Sangaji dilakukan sebagai bentuk penolakan atas dugaan perampasan lahan serta perusakan kawasan hutan adat oleh PT Position. Ironisnya, masarakat yang mempertahankan hak atas tanah leluhur kini justru dikriminalisasi dan dituding melakukan tindakan premanisme.
“Penetapan status tersangka terhadap masyarakat adat Maba Sangaji dan tudingan bahwa aksi mereka adalah premanisme, merupakan bentuk pelecehan terhadap harkat dan martabat masyarakat adat. Mereka adalah petani dan pemburu yang membawa alat tradisional seperti parang dan tombak, bukan kriminal. Polisi tidak bisa serta merta menangkap mereka dengan dalih undang-undang darurat tentang kepemilikan senjata tajam,” tegas Sekretaris Umum PII Wilayah Maluku Utara, Risko Hardi, melalui siaran persnya, Rabu (21/5/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
PII menilai penetapan tersangka terhadap warga yang memperjuangkan tanah adatnya adalah bentuk pembungkaman terhadap hak menyampaikan pendapat di muka umum. Mereka mendesak aparat penegak hukum untuk merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat.
“Kami meminta Polda Malut meninjau kembali langkahnya. Harus diingat bahwa aksi masyarakat dilakukan secara damai, dan hal itu dijamin dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Selain itu, hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya telah diakui dalam UUD 1945 Pasal 18B, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menjamin eksistensi hukum adat,” tambahnya.
Lebih lanjut, PII Malut mengingatkan agar Polda tidak tunduk pada tekanan korporasi dan mengabaikan aspirasi rakyat kecil. PII berharap adanya pendekatan yang lebih humanis serta pelibatan pemerintah provinsi/kabupaten dalam penyelesaian konflik.
“Jika Polda Malut tidak segera membebaskan 11 warga adat dan terus berpihak pada kepentingan korporasi, kami siap turun ke jalan dan menggelar konsolidasi besar-besaran,” tegas Risko Hardi. (*)
Penulis : Haerun Hamid
Editor : Sandin Ar