Oleh: Alfajri A. Rahman
Mantan Ketua Umum DPD IMM Malut
Tak terasa usiamu telah menginjak 61 tahun. Engkau tidak muda lagi seperti saat pertama kali dilahirkan di Gedung Dinoto, Yogyakarta, pada 14 Maret 1964. Kelahiranmu dulu sempat diperdebatkan oleh berbagai kalangan, dianggap dapat menghambat dinamika kebangsaan. Namun, dengan keteguhan dan landasan keikhlasan, engkau tetap bertahan dan terus berkembang hingga hari ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Buku yang ditulis oleh Farid Fahtoni menjadi salah satu referensi utama bagi kader IMM dalam memahami kepemimpinan organisasi. Tulisan ini mengingatkanku pada kutipan terkenal dari Presiden pertama Republik Indonesia: “Jangan pernah bertanya apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah engkau berikan untuk negara.”
Kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada 14 Maret 1964 merupakan babak baru bagi perjuangan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan Muhammadiyah secara keseluruhan. IMM hadir sebagai wadah untuk menghimpun mahasiswa Muhammadiyah dalam organisasi yang lebih terstruktur dan terorganisir dengan baik. Keinginan untuk membentuk IMM sebenarnya telah lama muncul, tetapi sempat tertunda karena berbagai faktor, seperti dinamika politik nasional dan belum berkembangnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) saat itu.
Keinginan Muhammadiyah untuk mendirikan perguruan tinggi telah dibahas sejak Muktamar 1936 pada masa kepemimpinan KH. Hisyam (1933-1937), dan kembali mengemuka dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah 1956. Gagasan ini akhirnya ditindaklanjuti secara lebih progresif dengan pembentukan Departemen Kemahasiswaan di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Upaya ini semakin konkret pada 15 Desember 1963, ketika dilakukan penjajakan awal melalui Dakwah Mahasiswa yang dipimpin oleh Ir. Margono, Dr. Sudibjo Markoes, dan Drs. Rosyad Saleh. Ide pembentukan IMM sendiri digagas oleh Drs. Moh. Djazman, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah.
Desakan untuk segera mendirikan organisasi mahasiswa Muhammadiyah datang dari berbagai daerah, termasuk Jakarta dengan tokoh-tokohnya seperti Nurwijo Sarjono, MZ. Suherman, M. Yasin, dan Sutrisno Muhdam. Akhirnya, dengan restu PP Muhammadiyah yang saat itu diketuai oleh H.A. Badawi, IMM resmi didirikan dengan Drs. Moh. Djazman sebagai koordinator bersama anggota lainnya, seperti M. Husni Thamrin, A. Rosyad Saleh, Soedibjo Markoes, dan Moh. Arief.
IMM lahir bukan sebagai reaksi terhadap desas-desus pembubaran HMI melainkan sebagai jawaban atas kebutuhan mahasiswa Muhammadiyah untuk memiliki wadah perjuangan sendiri. Oleh karena itu, anggapan bahwa IMM hanya menjadi tempat penampungan kader HMI adalah isu yang tidak perlu diperbesar-besarkan.
Selain itu, kelahiran IMM sangat berkaitan dengan enam identitas sebagai bentuk penegasan yang selalu melekat dalam tubuh kader dan organisasi IMM. Enam penegasan identitas ini sebagai kompas pergerakan ditandatangani di Gedung Dwi Sata Warsa Yogyakarta yang dihadiri Prof. K.H. Farid Ma’ruf. Ataupun saat dideklarasi Muktamar IMM di Kota Barat Solo, yang kemudian dikenal dengan “Deklarasi Kota Barat” yang berbunyi :
- IMM adalah gerakan mahasiswa Islam.
- Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM.
- Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator).
- Ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah.
- IMM adalah organisasi yang sah dan mengindahkan hukum, undang-undang, serta falsafah negara yang berlaku.
- Amal IMM didedikasikan untuk kepentingan agama, nusa, dan bangsa.
Enam penegasan ini harus terus menjadi pegangan dalam pergerakan IMM agar cita-cita menciptakan akademisi Islam berakhlak mulia dapat terwujud. IMM berbeda dengan organisasi lain karena gerakannya berpijak pada prinsip, kepribadian, dan nilai-nilai Muhammadiyah.
Enam Penegasan juga melahirkan Trilogi IMM yankni Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Kemasyarakatan. Namun, kondisi sosial dan tantangan zaman yang dihadapi IMM saat ini tentu berbeda dari saat kelahirannya. Karena itu, diperlukan ijtihad pemikiran dan strategi gerakan yang relevan tanpa meninggalkan nilai-nilai Muhammadiyah. Kader IMM harus memiliki kecakapan dalam menghadapi problematika yang semakin kompleks, dengan tetap menjadikan Enam Penegasan sebagai basis perjuangan, baik dalam organisasi maupun dalam diri setiap kader.
IMM : Antara Kenangan dan Tantangan
Bagi yang pernah merasakan Darul Arqam Dasar, kenangan tentang masa-masa mengenakan jas merah tentu masih melekat di ingatan. IMM bukan sekadar organisasi, tetapi rumah yang mempertemukan kita dalam kebersamaan. Dibalik nostalgia itu, ada kritik yang perlu kita renungkan.
Sebagai kader, kita harus mengakhiri polemik dan konflik internal yang hanya memperlemah soliditas organisasi. Konflik tidak hanya merusak hubungan pertemanan, tetapi juga menghambat pergerakan IMM dalam menjalankan perannya di masyarakat. Jika kader IMM Maluku Utara dapat bersatu, maka keberadaan IMM akan semakin diperhitungkan di berbagai level kepemimpinan untuk memecahkan problem social saat ini. Kemiskinan, pembangunan yang tidak merata, kenaikan harga BBM dan sembako, serta anak-anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi, IMM seharusnya hadir sebagai solusi. Kita harus kembali pada hakikat perjuangan IMM yang telah dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan.
IMM kini telah berusia 61 tahun, usia yang seharusnya menandai kematangan dalam gerakan dan pemikiran. IMM harus mampu menciptakan poros baru dalam dinamika nasional dan global. Seperti yang dikatakan mantan Rektor UMM, Dr. Kasman Hi Ahmad, kader IMM harus menjadi pengatur utama isu, bukan hanya menunggu bola. Kader IMM harus aktif membangun narasi, memperkuat jejaring, dan berkolaborasi untuk menghadapi tantangan zaman.
Selain itu, kader IMM juga harus mampu menjaga relevansinya di tengah pergeseran nilai spiritualitas, moralitas, dan perubahan sosial yang begitu cepat. Kita tidak boleh membiarkan kader IMM terjebak dalam arus kapitalisme dan individualisme yang semakin kuat. IMM harus berperan tidak hanya dalam ranah internal organisasi, tetapi juga dalam skala nasional dan internasional.
Semoga IMM tetap menjadi cahaya yang menerangi jalan perjuangan Muhammadiyah dan umat. Saatnya kita kembali ke jalan yang benar, membangun gerakan yang lebih progresif, dan memastikan IMM tetap berperan dalam menciptakan perubahan yang nyata. Karena tugas kita sebagai kader belum selesai. Selama denyut nadi masih bergetar, IMM akan selalu ada untuk menjawab tantangan zaman. Selamat Milad ke-61, Merah Maron. (*)
Penulis : Alfajri A Rahman
Editor : Redaksi