Kasedata.id – Kebijakan tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sebesar 19 persen akan diberlakukan mulai 7 Agustus 2025. Kebijakan tarif timbal balik ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, sebagai respons atas kebijakan dari AS yang juga diterapkan terhadap 92 negara lainnya.
Kebijakan ini memicu pertanyaan, apa berdampak terhadap perekonomian di Maluku Utara.
Menjawab hal tersebut, Dr. Aziz Hasyim, pengamat ekonomi Maluku Hasyim menilai kebijakan tarif resiprokal ini akan membawa konsekuensi ekonomi baik secara nasional maupun regional.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kebijakan ini secara umum akan menimbulkan dampak negatif dan positif seperti penurunan ekspor, penurunan produksi, tekanan terhadap rupiah, dan peningkatan angka pengangguran,” ungkapnya kepada kasedata.id, Senin (4/8/2025).
Menurutnya, tingginya tarif ekspor akan membuat pelaku usaha berpikir ulang untuk mengekspor produk seperti tekstil, elektronik, maupun bahan pangan. Ketika ekspor menurun, produksi dalam negeri otomatis terdampak yang pada akhirnya bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya tingkat pengangguran.
“Kalau pengangguran naik, maka daya beli masyarakat melemah. Dan ini akan menekan kinerja perekonomian nasional serta dapat berujung pada risiko resesi,” jelasnya.
Untuk Maluku Utara, Dr. Aziz mengkritisi kebijakan nasional yang selama ini terlalu fokus pada hilirisasi sektor pertambangan, tanpa memberikan perhatian seimbang terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan daerah.
“Pemerintah pusat perlu mempercepat hilirisasi produk pertanian terutama di Maluku Utara yang memiliki potensi besar di sektor ini,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa Maluku Utara tidak boleh hanya menjadi penyangga industri tambang nasional. Dalam konteks tarif resiprokal, ketergantungan pada ekspor bahan mentah bisa menjadi bumerang. Solusinya adalah mendorong produksi dalam negeri yang lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan pasar domestik.
Sebagai strategi mitigasi, Hasyim mengusulkan agar pemerintah tidak hanya bereaksi, tapi juga melakukan diversifikasi pasar ekspor. Artinya, Indonesia perlu memperluas jangkauan perdagangan ke negara-negara lain yang tidak memberlakukan tarif tinggi seperti AS.
“Diversifikasi pasar jauh lebih penting daripada hanya merespons kebijakan resiprokal. Negara juga harus memperkuat daya saing produk lokal yang selama ini kalah dalam kualitas dan harga dibandingkan produk asing,” jelasnya.
Ia juga menggarisbawahi ada disparitas nilai produk antara barang ekspor Indonesia ke AS yang dinilai rendah. Sementara produk AS yang masuk ke Indonesia cenderung memiliki nilai tambah tinggi. Ketimpangan ini harus diatasi melalui peningkatan kualitas produksi nasional.
Terakhir, Dr. Hasyim menekankan kebijakan tarif resiprokal ini harus diikuti dengan langkah strategis yang terintegrasi hingga ke daerah. Beberapa langkah penting yang perlu dilakukan antara lain, peningkatan infrastruktur penunjang ekspor, pemberian insentif bagi pelaku industri dalam negeri, penguatan kualitas produk lokal, serta kebijakan turunan (derivatif) hingga ke level daerah.
“Kebijakan ini tak bisa hanya dipandang dari sisi pusat. Pemerintah daerah juga harus bergerak cepat dalam menyiapkan skema mitigasi dampak ekonomi, di wilayah Maluku Utara,” pungkasnya. (*)
Penulis : Sukarsi Muhdar
Editor : Sandin Ar