Pendidikan Tanpa “Akar” di Bumi Fogogoru

Minggu, 3 Agustus 2025 - 19:36 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hasbi Ade

Hasbi Ade

Oleh: Hasbi Ade
(Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam IAIN Ternate)

 

“Ketika pemimpin tak tumbuh dari tanahnya, kebijakan pun kerap tak berakar pada rakyatnya,”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tulisan ini, saya hadirkan sebagai artikulasi pemikiran kritis mengenai kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, yang berencana mendatangkan guru kontrak dari Pulau Jawa di tahun 2026.

Meskipun kebijakan ini diklaim bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, namun perlu di tinjau kembali secara kritis, inklusif, dan komprehensif.

Saat ini kepungan industri ekstraktif di Bumi Fogogoru, Halmahera Tengah, pendidikan seharusnya tampil sebagai kekuatan dan garda terdepan untuk menyeimbangkan sebuah sarana pemberdayaan masyarakat lokal agar tidak menjadi penonton dan korban pada pembangunan.

Pasalnya, solusi yang ditawarkan Pemda malah bersifat pragmatis, dengan mendatangkan guru dari luar daerah, seakan mutu bisa dipindahkan dari Pulau Jawa ke Halmahera Tengah.

Dalam perspektif manajemen pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Sallis (2002), peningkatan mutu pendidikan tidak dapat dicapai melalui kebijakan jangka pendek dan teknokratis.

Justru, kunci dari manajemen pendidikan yang efesien dan efektif terletak pada penguatan sistem dari dalam melalui pelatihan guru, perbaikan fasilitas, kepemimpinan yang partisipatif, dan keterlibatan masyarakat.

Kebijakan mendatangkan guru kontrak sebenarnya merupakan bentuk outsourcing solusi, yang justru melemahkan kapasitas lokal dan mengabaikan prinsip capacity building dalam pendidikan.

Baca Juga :  RINDU GEMURUH STADION GELORA KIE RAHA

Lebih jauh lagi, pendekatan socio-kultur learning dari Vygotsky yang menekankan bahwa pendidikan sangat bergantung pada pemahaman guru terhadap konteks lokal peserta didik. Artinya, guru bukan sekedar pengajar, melainkan fasilitator pembentukan karakter, dan komunikator nilai-nilai.

Pada konteks Halmahera Tengah, para guru lokal sejatinya memiliki keunggulan dalam memahami dinamika sosial, adat, bahasa, serta nilai-nilai komunitas. Ketika guru dari luar daerah masuk tanpa pemahaman mendalam mengenai konteks lokal, maka hal ini bisa menimbulkan konflik nilai, keterasingan budaya, atau pembelajaran yang tidak relevan.

Ditinjau dari manajemen pendidikan, kebijakan ini justru tidak mencerminkan pendekatan partisipastif dan demokratis. Kebijakan semacam ini hanya akan memperkuat birokrasi pendidikan yang jauh dari akar masalah dan minim refleksi sosial. Bahkan, kebijakan ini lahir dari mekanisme top-down tanpa melibatkan masyarakat serta guru lokal yang telah lama berjuang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di Halmahera Tengah.

Kebijakan ini juga sebenarnya berpotensi untuk menciptakan ketergantungan jangka panjang atas tenaga kerja luar, tanpa membangun sistem yang bekelanjutan. Jika setiap krisis mutu pendidikan hanya dijawab dengan mendatangkan para guru dari luar, maka sampai kapan Halmahera Tengah akan mandiri dalam membangun kualitas pendidikannya sendiri?.

Iniah yang seharunya menjadi perhatian Pemda, bahwa manajemen pendidikan menekankan pentingnya keberlanjutan (sustainability), yaitu penguatan sistem dari dalam, dan bukan ketergantungan terhadap eksternal.

Baca Juga :  Kemaksiatan Politik dalam Kegagalan Paripurna DPRD Halsel

Pendidikan merupakan investasi jangka panjang, bukan proyek jangka pendek. Jika Pemda Halteng benar-benar ingin meningkatkan mutu pendidikan, maka fokus utama seharusnya adalah pada pemberdayaan guru lokal, pelatihan berkelanjutan, dan insentif yang adil bagi para pendidik yang telah mengabdi di wilayah-wilayah pelosok. Memindahkan guru dari Jawa ke Halmahera tanpa transformasi sistem hanya akan menciptakan solusi semu.

Sudah saatnya Bumi Fogogoru harus membangun kekuatan pendidikan dari dalam, bukan dengan menjadikan Pulau Jawa sebagai “pabrik guru,” tapi dengan menjadikan masyarakat lokal sebagai aktor utama perubahan. Pendidikan yang membebaskan hanya bisa lahir dari mereka yang tumbuh bersama tanahnya, memahami bahasanya, dan mencintai budayanya.

Sebagai penutup, saya menyarankan kepada Bupati, Wakil Bupati, dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Tengah untuk kembali membuka dan menelah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013, serta Undnag-Undang Nomor 14 Tahun 2005.

Keseluruhan regulasi tersebut menuntut para guru untuk merancang pembelajaran yang tidak hanya mengikuti standar nasional, tetapi juga mencerminkan konteks lokal, sebagaimana amanat kurikukulum merdeka belajar yang memberikan kebebasan terhadap satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum sesuai dengan budaya dan karakteristik daerahnya. Bukan dengan menghadirkan guru dari luar wilayah. (*)

Penulis : Hasbi Ade

Editor : Redaksi

Berita Terkait

UU ITE, Tim Siber dan Penanganan Buzzer-Akun Palsu
Menjaga Togal Busua
Kemaksiatan Politik dalam Kegagalan Paripurna DPRD Halsel
Dari Guraici ke Gugus Pulau Makayoa
Catatan Pengukuhan IMM Maluku Utara; Sebuah Otokritik
Makayoa Menagih Janji Nusantara
Bayang-Bayang Slot Zeus, Ancaman Generasi Bangsa
Dibalik Gemerlap Emas PT. TUB Halmahera Barat

Berita Terkait

Minggu, 3 Agustus 2025 - 19:36 WIT

Pendidikan Tanpa “Akar” di Bumi Fogogoru

Sabtu, 26 Juli 2025 - 19:24 WIT

UU ITE, Tim Siber dan Penanganan Buzzer-Akun Palsu

Rabu, 2 Juli 2025 - 15:48 WIT

Menjaga Togal Busua

Jumat, 20 Juni 2025 - 16:52 WIT

Kemaksiatan Politik dalam Kegagalan Paripurna DPRD Halsel

Sabtu, 7 Juni 2025 - 19:07 WIT

Dari Guraici ke Gugus Pulau Makayoa

Berita Terbaru

Gubernur Sherly bersama Sekjen Kementerian Sosial RI, Robben Riko, di Jakarya, Selasa, (5/8/2025). || dok : Adpim Malut

Daerah

Pemprov Malut Pastikan Siswa SR dapat BSPS Kemensos RI

Rabu, 6 Agu 2025 - 01:20 WIT