“Dia (Sahril) itu tulang punggung keluarga, jangan kase biar (biarkan) dia talalu (terlalu) lama di laut” dua kalimat getir ini terucap dari bibir Fitriani Basri, ibunda Sahril Helmi, jurnalis Metro TV yang meninggal dunia saat ikut menyelamatkan nelayan hilang.
Minggu pagi, 2 Februari 2025 menjadi hari berkabung bagi jurnalis di Maluku Utara. Pesan berantai di berbagai platform memuat informasi kecelakaan speedboat Rigit Inflatable Boat 04 milik Basarnas Ternate yang meledak di perairan Desa Gita, Kota Tidore Kepulauan. Tiga orang meninggal dunia, 7 orang luka-luka dan 1 orang hilang dalam insiden pilu ini.
Bagi saya pekerja media, laporan seperti ini sudahlah mafhum—dulu laporan intelijen ini hanya diterima dan diketahui sebagian jurnalis saja, sekarang telah menjadi konsumsi umum. Namun, percakapan di WA grup AJI Ternate memaksa saya menyimak detail laporan tersebut dan menemukan catatan terakhir, nama Sahril Helmi tertulis sebagai korban hilang yang ikut dalam tim penyelamat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya terpaku, mematung dalam hening beberapa saat dan kembali membaca pesan yang dikirim dalam grup WA tersebut. Seketika air mata saya gugur—antara ragu, percaya, atau terpaksa harus percaya. Lalu, ingatan saya kembali pada acara kampanye PSN; talkshow dan pameran foto di Benteng Oranje pada Sabtu malam atau sehari sebelum kejadian kecelakaan speedboat tersebut.
Sahril hadir mewakili Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Maluku Utara yang juga diundang. Pria ini bahkan duduk santai menyimak kata per kata pembicara lalu menjadi penanya pertama. Dengan dialeknya yang formal, Sahril meng-higlight apa yang dilihat dan direkamnya berkali-kali di Halmahera Tengah ketika tambang hadir. Sebagai jurnalis lapangan, Sahril juga tak luput atas apa yang terjadi di kampung halamannya di Desa Bisui, Gane Timur, tempat ia menghabiskan masa kecilnya dan rumah peristirahatan terakhirnya. Kepada Muksin Amrin, pemateri dari DPRD Malut, Sahril menitip pesan—hentikan ekspansi perusahaan kelapa sawit di sana sebelum sungai-sungai sebagai ekosistem penyangga tercemar.
Dalam memori kolektifnya, Sahril seolah-olah memberi isyarat lisan kepada siapa pun yang hadir dalam acara AJI Ternate. Kepergiaanya yang getir itu meninggalkan pesan kemanusiaan tentang orang-orang kalah di tanah mereka beranak pinak.
Dia tegas dalam komitmen untuk menjelaskan kenyataan pahit akan krisis sosial di Halmahera sana. Di era “jurnalisme pacuan kuda”, Sahril bukanlah tipe jurnalis rilis. Jika ada bencana, pria ini akan melapor dari sana melalui reportase mendalam, mengisahkan kepada dunia tentang saudaranya yang harus segera ditolong. Dalam keteguhannya, ia mengimani bahwa jurnalis bukan sekadar pemberi kabar, tetapi juga penjaga kebenaran yang membantu khalayak membedakan fakta dan fiksi, dalam lautan informasi keliru.
Jurnalisme tidak sekadar tentang menyampaikan berita, membuat laporan langsung atau sejenis praktik lazim jurnalis lainnya, tetapi jurnalisme memiliki peran menghidupkan kisah-kisah yang memengaruhi manusia dan alam sekaligus membuka mata realitas.
Lebih dari itu, Sahril dalam diamnya adalah tulang punggung bagi orang tua dan saudaranya. Dalam sebuah pertemuan di kantor Basarnas Ternate, sang ibu yang sudah 3 hari ikut dalam pencarian tak sanggup mengungkapkan rasa cintanya yang amat dalam. Suaranya yang lirih berusaha mengeja kata demi kata, memohon agar sang buah hati segera ditemukan.
Dedikasi Sahril tidak sekadar menjadi ikhtiar merawat jurnalisme di era praktik liar media sosial dan degradasi kepercayaan publik terhadap jurnalis, tetapi Sahril menunjukkan empati dengan menempatkan rasa kemanusiaan jauh di atas segalanya. Dalam kematiannya yang indah, Sahril mungkin telah berkumpul dengan para jurnalis syuhada di Palestina yang meliput dan menjalani “Neraka” akibat serangan zionis Israel di Jalur Gaza.
Ia mungkin tengah berbagi kisah atau mendengar cerita tentang bayi-bayi Palestina yang meninggal kedinginan di tenda pengungsian atau kisah ribuan anak yang mati dan kehilangan orang tua akibat senjata dan rudal-rudal Israel.
Mendengar kisah jurnalis yang menghadapi dilema antara menjalankan profesi atau menolong anak-anak dan korban yang terhimpit beton. Atau menangis mendengar cerita Sami Shehadeh yang sehari-harinya melihat saudaranya di Palestina penuh luka memohon pertolongan, kehausan, kedinginan, kelaparan hingga kehilangan anak, serta keluarganya, sementara di langit Gaza hujan rudal tak berujung. Atau mungkin saja sedang terisak, mendengar cerita Ibrahim Muharab,Mohamed Yaghi, Mustafa Thuraya, Samer Abudaqa yang juga syahid dalam liputannya di Gaza.
Teruntuk ibunda dan ayahanda Sahril, saya sungguh iri dengan kepergian anakmu yang indah itu, ia didoakan dari segala penjuru—doakan kami semua agar istiqomah seperti ananda Sahril yang mencintai profesi ini meski harus bertaruh nyawa.
Hati siapa yang tak rapuh, melihat seorang ibu menangisi anaknya yang hilang di tengah lautan. Hati siapa yang sanggup menahan gemuruh pilu melihat cinta tulus dari ibu yang berharap bisa melihat wajah anaknya mesti telah kaku dibalut samudra. Semoga kesedihan segera berlalu dan berganti doa-doa terbaik.Sahril telah meninggalkan kepingan puzzle dari nilai luhur bagi seorang jurnalis. Lahul Fatihah. (*)
Penulis : Ikram Salim
Editor : Redaksi