Tahun 2024 telah menjadi tahun penuh dinamika politik di Indonesia. Setelah hiruk-pikuk Pilpres yang memuncak hingga berakhir di Mahkamah Konstitusi, kini perhatian publik beralih ke Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, termasuk di Maluku Utara. Masyarakat akan memilih siapa yang layak menduduki “kursi panas” gubernur dan wakil gubernur yang akan membawa perubahan bagi wilayah tersebut.
Seperti biasa, setiap kandidat berlomba-lomba menyampaikan visi-misi mereka di panggung politik. Namun, terkadang visi-misi itu terdengar abstrak dan sarat janji-janji klise yang kita semua sudah terlalu sering dengar. Mulai dari permainan kata-kata hingga slogan-slogan yang berusaha meraih hati masyarakat, strategi ini terasa usang, namun tetap menjadi senjata utama dalam mengumpulkan suara.
Dalam kontestasi politik ini, kita akan melihat berbagai sisi dari setiap kandidat baik dan buruk—yang akan menjadi bahan pembicaraan publik, khususnya di media sosial. Tak jarang, pendukung fanatik saling serang untuk menjatuhkan lawan, memperkeruh suasana politik yang seharusnya berjalan dengan sehat. Namun di balik itu semua, suara rakyat (vox populi vox dei) tetap menjadi penentu siapa yang akan memimpin Maluku Utara ke depan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan jumlah pemilih tetap di Maluku Utara yang mencapai 942.076 orang (KPU Provinsi Malut, 2024), masyarakat akan menentukan satu pasangan calon dari empat kandidat yang telah terdaftar. Di tengah situasi Malut yang banyak tantangan seperti kondisi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kesejahteraan, pemanfaatan sumber daya alam, serta masalah lingkungan dan kebudayaan—maka siapapun yang terpilih nanti, akan menghadapi tugas berat untuk membenahi berbagai sektor yang tengah terpuruk.
Saat ini, kita berada di masa transisi kepemimpinan daerah yang penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, kelayakan setiap kandidat akan diuji oleh para pemilih yang cerdas. Namun, tantangan terbesar dalam proses demokrasi ini adalah maraknya politik uang dan politik identitas. Praktik tidak sehat ini terus terjadi di hampir setiap Pilkada, dan Maluku Utara tidak luput dari masalah tersebut, bahkan masuk dalam zona merah politik uang (Bawaslu Provinsi Malut, 2023). Rantai kebiasaan buruk ini harus diputus agar demokrasi kita dapat berjalan dengan lebih sehat.
Mengutip kata-kata Guru Besar Filsafat, Romo Franz Magnis Suseno, S.J., “pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Ini adalah pengingat penting bagi setiap pemilih agar bijak dalam menentukan pilihan. Bukan berarti semua kandidat buruk, tetapi mereka juga tidak dapat dikatakan yang terbaik. Setidaknya, di antara mereka, ada yang mampu bertanggung jawab atas kebahagiaan rakyat Maluku Utara.
Rakyat harus lebih selektif dalam memilih pemimpin, sebab pilihan kita akan menentukan masa depan daerah ini. Berdasarkan pemikiran politik klasik, ada beberapa kriteria yang bisa kita jadikan acuan dalam memilih pemimpin yang ideal.
Pertama, pengaruh seperti yang diungkapkan oleh John C. Maxwell. Seorang pemimpin harus memiliki pengaruh yang kuat, mampu memimpin dan diikuti oleh rakyatnya. Kedua, kekuasaan calon pemimpin harus mampu memegang kekuasaan dengan baik, sehingga rakyat merasa bergantung padanya dalam membuat keputusan penting. Ketiga, kemampuan seorang pemimpin harus cerdas dan memiliki kemampuan untuk memimpin serta menjadi teladan bagi pengikutnya.
Lebih lanjut, menurut pengamat politik Rocky Gerung (2024), seorang pemimpin harus memiliki tiga hal penting: etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas. Etikabilitas berarti pemimpin harus memiliki moral dan etika yang tinggi, sehingga kebijakan yang dibuat memanusiakan manusia. Intelektualitas menunjukkan bahwa pemimpin harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk menciptakan peradaban baru yang lebih baik. Sedangkan elektabilitas menuntut seorang pemimpin dikenali dan dihormati oleh masyarakat dengan rekam jejak yang dapat dipercaya.
Selain itu, pemikiran filsuf Yunani kuno, Plato, tentang kepemimpinan ideal juga relevan untuk kita terapkan dalam konteks Pilkada Maluku Utara. Plato menekankan bahwa seorang pemimpin harus memahami filsafat kepemimpinan dan kehidupan, agar mereka benar-benar memahami akar permasalahan yang dihadapi daerahnya dan mampu mencari solusi. Pemimpin juga harus siap mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat, serta selalu berpedoman pada prinsip keadilan sejati.
Secara sederhana, calon pemimpin yang ideal harus memiliki beberapa kriteria: religius, intelektual, berintegritas, adil, visioner, responsif, memiliki kekuatan (power), tidak korup, strategis, pejuang, dan solutif. Kriteria-kriteria inilah yang perlu kita perhatikan dalam menentukan pilihan pada Pilkada Maluku Utara mendatang.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata John C. Maxwell, “Kepemimpinan bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang pelayanan.” Sebagai kader GMNI Maluku Utara, saya percaya bahwa seorang pemimpin harus memiliki jiwa pejuang yang berpikir, dan pemikir yang berjuang.
Pilihan kita pada Pilkada 2024 akan menentukan masa depan Maluku Utara. Mari kita pilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan bagi daerah ini, bukan hanya sekadar mengobral janji. (*)
Penulis : Renaldi M. Larumpa
Editor : Redaksi