Kasedata.id – Dua organisasi mahasiswa dari Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Maluku Utara dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Halmahera Selatan, menggelar aksi demonstrasi pada Selasa (6/5/2025).
Mereka mendesak untuk menutup PT Intim Mining Sentosa (IMS), perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Pulau Obi. Aksi ini digelar karena mereka menduga PT IMS beroperasi menggunakan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sudah kedaluwarsa. Perusahaan ini diketahui beroperasi di wilayah Desa Bobo dan Fluk, Kecamatan Obi Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel).
Dalam unjuk rasa yang dilakukan secara bergantian di depan Kantor Polres Halsel, DPRD Kabupaten Halsel, dan Kantor Bupat Halseli, para demonstran membawa poster-poster tuntutan dan menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap dampak lingkungan dari aktivitas tambang yang dianggap tidak lagi sesuai dengan regulasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga tuntutan utama disuarakan dalam aksi itu pertama, mendesak Kapolres Halsel untuk segera memberi garis polisi (police line) di area operasional PT IMS yang diduga menggunakan dokumen AMDAL kedaluwarsa.
Kedua, meminta DPRD Halsel turun langsung ke lokasi dan menghentikan seluruh aktivitas pertambangan PT IMS di Desa Bobo.
Ketiga, mendesak Bupati Halsel segera menyelesaikan konflik tapal batas antara Desa Bobo dan Desa Fluk, serta memberhentikan Kepala Desa Bobo, Jams Totononu, yang diduga berafiliasi dengan perusahaan untuk kepentingan pribadi.
Koordinator aksi, Sarjan Hud Rivai, menegaskan bahwa tanah adalah aspek vital dalam kehidupan masyarakat, baik sebagai sumber pertanian, peternakan, maupun tempat tinggal bagi generasi mendatang. Ia menyebut kehadiran PT IMS telah memicu konflik kepentingan antara masyarakat dan aparat keamanan yang melindungi kepentingan perusahaan.
“Kesadaran masyarakat perlu dibangkitkan karena PT IMS hadir tanpa persetujuan warga. Beberapa bulan lalu, warga Desa Bobo secara tegas menolak eksplorasi perusahaan di tanah mereka,” ujarnya.
Karena itu, SEMMI dan GMNI menyoroti indikasi pelanggaran serius yang dilakukan PT IMS berdasarkan laporan masyarakat dan kajian dokumen yang mereka miliki. Salah satunya adalah dugaan bahwa dokumen AMDAL milik perusahaan sudah tidak berlaku lagi dan tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 36 dan 40.
“PT IMS memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada 2011. Namun, dengan aktivitas operasi yang terus berlangsung hingga kini, dokumen AMDAL tersebut patut dipertanyakan relevansinya terhadap kondisi lingkungan terbaru,” tegas Sarjan. (*)
Penulis : Ridal Lahani
Editor : Sandin Ar