Kasedata.id – Presiden Prabowo Subianto dalam pidato Rancangan UU APBN dan Nota Keuangan pada sidang Tahunan MPR beberapa waktu lau, menyebut anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada 2026 akan naik mencapai Rp335 triliun dari sebelumnya Rp71 triliun.
Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Nurdin Muhammad, menilai jika lonjakan anggaran itu berpotensi mengorbankan program penting lainnya yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. Menurutnya, kebijakan kenaikan anggaran MBG berisiko menekan ruang fiskal daerah khususnya di Maluku Utara.
“Jika porsi anggaran pusat terserap sangat besar untuk MBG, transfer ke daerah bisa semakin terbatas. Ini berpotensi membuat Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun dana infrastruktur menurun. Akibatnya, kemampuan daerah membiayai pembangunan di luar sektor pendidikan akan tertekan,” jelas Nurdin.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengakui, program MBG penting bagi peningkatan gizi anak sekolah. Namun tanpa perencanaan matang, kebijakan ini justru bisa mengurangi kemampuan daerah membiayai sektor lain, seperti kesehatan, infrastruktur dasar, pengentasan kemiskinan, hingga penguatan ekonomi lokal.
Nurdin juga mengingatkan potensi persoalan teknis di lapangan. Dengan anggaran sebesar itu, daerah bisa kewalahan dalam hal distribusi makanan, pengawasan kualitas, hingga risiko penyalahgunaan anggaran. “Ini rentan menjadi celah korupsi,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menilai program ini berpotensi menimbulkan ketergantungan daerah pada anggaran pusat jika tidak disinergikan dengan ekonomi lokal.
“Padahal mestinya MBG bisa membuka peluang pemberdayaan, misalnya dengan melibatkan petani lokal atau pelaku UMKM sebagai penyedia bahan pangan,” katanya.
Tak hanya itu, anggaran besar MBG juga rawan menjadi komoditas politik. Tanpa transparansi dan desain yang tepat bisa muncul konflik kepentingan antara pusat dan daerah serta menimbulkan beban fiskal jangka panjang.
Nurdin menekankan bahwapemerintah pusat perlu memastikan desain program tidak hanya bersifat top-down, melainkan memberi ruang bagi daerah untuk mengintegrasikan potensi lokal.
“Idealnya MBG harus menghadirkan manfaat berlipat bagi masyarakat daerah, bukan sekadar menambah beban fiskal,” pungkasnya. (*)
Penulis : Sukarsi Muhdar
Editor : Sandin Ar