Kasedata.id — Cahaya peradaban perlahan menembus rimba Halmahera. Di balik lebatnya hutan, sekelompok masyarakat adat yang selama ini hidup dalam keterasingan perlahan menapaki jalan perubahan. Mereka adalah Suku Togutil atau lebih dikenal sebagai Suku Tobelo Dalam. Komunitas mualaf yang selama puluhan tahun hidup nomaden dan terpencil dari akses dunia luar.
Transformasi ini bukanlah hasil instan. Dibalik perubahan menghangatkan hati ini, ada peran sosok muda sederhana. Dia adalah Arif Ismail, penyuluh Agama Islam dari Kementerian Agama Kota Ternate. Belum lama ini (2025) dengan semangat dakwah kultural, Arif bersama timnya menjalankan program pendampingan yang menembus batas geografis dan kultural.
Suku Tobelo Dalam dikenal sebagai masyarakat adat yang masih memegang tradisi animisme. Bahasa Tobelo, musik bambu, tabuhan tifa, dan tarian salai menjadi identitas kultural yang tetap hidup di tengah perubahan zaman. Bertahun-tahun mereka hidup dari berburu, meramu, dan mengolah sagu, dengan akses sangat terbatas terhadap dunia luar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, hutan Halmahera tak lagi sepenuhnya sunyi. Arif dan timnya rutin menempuh medan ekstrem sejauh 10 hingga 15 kilometer di belakang Desa Woda, Kecamatan Oba, melewati sungai, menembus belantara, dan menapaki semak belukar demi satu tujuan membangun jembatan peradaban melalui dakwah dan pemberdayaan.
Mengaji di Tengah Rimba
Perlahan tapi pasti, perubahan mulai terlihat. Warga mulai belajar mengaji, membaca, menulis, dan bercocok tanam.
“Alhamdulillah, torang so bisa mengaji sedikit-sedikit, membaca, menulis, dan so tau berkebun. Terima kasih banyak, Ustadz Arif,” ucap Kapita (Leppa), Kepala Suku Tobelo Dalam dengan suara haru.
Bagi mereka, Islam bukan hanya agama baru tapi jalan untuk memahami dunia di luar belantara. Simon (Ahmad), warga suku lebih dulu memeluk Islam mengungkapkan bahwa rasa syukurnya. “Torang senang so bisa mengaji, berkebun, dan bajual di masyarakat “ kata Simon.
Dakwah yang dilakukan Arif tak semata menyentuh sisi spiritual, tapi juga menyasar kemandirian ekonomi. Masyarakat mulai dilatih keterampilan praktis. Dari mengolah kopra, membuat kerajinan rotan, hingga memanfaatkan damar dan tanaman herbal sebagai sumber penghasilan alternatif.
Meski tantangan tak ringan yakni akses terbatas, minim infrastruktur, dan kurangnya dukungan teknis, namun semangat dakwah tak pernah padam.
“Ini bukti bahwa dakwah yang menghormati kearifan lokal bisa mendorong transformasi spiritual dan sosial yang berkelanjutan,” ujar Arif Ismail.
Ia menekankan bahwa peran penyuluh agama sangat strategis dalam pembangunan masyarakat adat, khususnya di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Namun, Arif juga mengingatkan bahwa program ini tak bisa berjalan sendiri. “Kami butuh sinergi lebih luas, baik dari pemerintah, lembaga sosial, maupun masyarakat umum. Agar perubahan ini tidak terhenti di tengah jalan,” tegasnya.
Di tengah keterbatasan, Suku Tobelo Dalam kini tengah menapaki jembatan menuju kehidupan baru. Dakwah bukan lagi sekadar ceramah, melainkan pengabdian menyeluruh yakni menyentuh hati, membuka pikiran, dan menggerakkan tangan.
Dari pedalaman Halmahera, sebuah kisah inspiratif tumbuh dari sosok Arif Ismail. Tentang ketulusan, ketekunan, dan harapan yang menyala dalam sunyi. Sebuah pelajaran penting bahwa perubahan besar bisa lahir dari langkah kecil, asalkan dijalani dengan cinta dan keyakinan. (*)
Penulis : Pewarta
Editor : Redaksi