Kasedata.id – Sebagai representasi rakyat, para legislator seharusnya mengedepankan etika politik dan paling utama kepentingan publik, bukan membawa hal-hal konflik internal ke ruang sidang paripurna. Hal ini menjadi perbincangan publik setelah insiden memalukan terjadi dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Maluku Utara baru-baru ini.
Ketegangan mencuat di internal Komisi II DPRD Malut terkait wacana pergantian Ketua Komisi II, Yulin Mus. Perdebatan terbuka antara dua anggota komisi II, Irfan Shokonay dan Debora Tongo-Tongo, di hadapan Wakil Gubernur H. Sarbin Sehe, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekprov) Samsuddin A. Kadir, serta sejumlah pimpinan OPD, yang hadir dalam sidang paripurna tersebut tak mencerminkan etika legislator .
Muammil Suanan, akademisi Universitas Khairun Ternate, merasa prihain dengan insiden tersebut. Menurutnya, membawa konfilik internal ke ruang paripurna DPRD adalah bentuk pelanggaran etika lembaga dan mencoreng marwah lembaga DPRD.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Masalah internal komisi seharusnya diselesaikan secara tertutup dalam forum internal. Bukan membukanya di paripurna apalagi di hadapan pihak eksekutif, justru menunjukkan lemahnya budaya kelembagaan dan etika legislator,” ujar Muammil kepada kasedata.id, Senin (7/7/2025).
Muammil menilai bahwa Komisi II memegang peran strategis dalam pengawasan anggaran dan pengendalian arah kebijakan ekonomi daerah. Jika konflik dibiarkan berlarut, maka fungsi legislasi dan pengawasan bisa terganggu secara serius.
Ia juga mendesak ketua DPRD untuk segera mengambil langkah untuk meredam ketegangan di internal komisi II.
“Ketua DPRD harus turun tangan. Tidak boleh membiarkan konflik seperti ini berkembang di forum publik. DPRD adalah lembaga terhormat, rapat paripurna adalah ruang membahas kepentingan rakyat, bukan arena drama politik internal,” tegasnya. (*)
Penulis : Pewarta
Editor : Sandin Ar