Kemaksiatan Politik dalam Kegagalan Paripurna DPRD Halsel

Jumat, 20 Juni 2025 - 16:52 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto : Dr. Iksan Subur Karamaha

Foto : Dr. Iksan Subur Karamaha

Oleh : Dr. Iksan Subur Karamaha
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Maluku Utara semakin kencang, Khususnya di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) yang berpeluang melahirkan sejumlah wilayah sebagai DOB. Namun, ada hal menarik mewarnai samangt pembentukan DOB di bumi saruma itu adalah “maksiat politik” mulai dipertontonkan.

Ini terbukti pada Rabu, 18 Juni 2025. 30 anggota DPRD Halsel diduga secara sengaja dan terang-terangan mengatur siasat dan menggagalkan Paripurna Pembentukan Pansus DOB. Fenomena ini dapat dinyatakan sebagai perbuatan kemaksiatan politik. Kemungkinan para pelaku politik bisa melakukan kompromi untuk menggagalkan agenda paripurna.

Perbuatan menggagalkan paripurna ini, sebagai bentuk pelanggaran etika dan moral dalam politik. Sebab, dari 30 wakil rakyat di parlemen Halsel, hanya 10 orang yang hadir. Sementara 20 anggota DPRD lainnya memilih tak hadir. Walhasil, rapat tersebut dinyatakan tidak memenuhi kuorum dan paripurna pembentukan pansus DOB gagal alias tidak bisa berlanjut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ini menunjukkan kompromi politik yang fatal dalam semangat mendorong kebijakan pemekaran. Sebab agenda Badan Musyawarah (Banmus) telah disepakati harusnya konsisten dilaksanakan. Terlebih, undangan paripurna telah didistribusikan kepada seluruh anggota DPRD. Karena itu, harusnya wakil rakyat ini hadir dalam paripurna.

Apalagi, agenda paripurna itu telah terpublikasi di semua khalayak. Artinya, publik sangat mengharapkan paripurna ini berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, para anggota dewan di Halsel malah mempertontonkan perilaku “maksiat politik” alias mengkhianati harapan publik.

Mari kita urai maksud dari kemaksiatan politik ini. Dalam konteks agama, kemaksiatan politik merupakan sebuah tindakan politik yang menyimpang dari nilai-nilai agama, moral dan etika (kejujuran, keadilan, dan amanah). Khususnya dalam menjalankan kekuasaan dan pengambilan kebijakan serta praktik politik.

Begitu pula teori kemaksiatan dalam politik berpandangan bahwa praktik politik seringkali melibatkan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral atau etika. Selain itu, dalam beberapa perspektif para pakar menyebut kemaksiatan politik terkait dengan kepentingan kekuasaan dan kepentingan pribadi, serta etika dan tanggung jawab dalam politik.

Baca Juga :  RINDU GEMURUH STADION GELORA KIE RAHA

Berdasarkan historis paripurna DPRD Kabupaten Halsel sejak berdiri sebagai DOB, kurang lebih dua dekade ini belum pernah terjadi peristiwa menggagalkan paripurna. Ini merupakan budaya politik yang baik dan harus dipertahankan. Karena itu, kegagalan paripurna telah membuka gerbang budaya politik baru yang berpotensi eksis karena kepentingan pragmatis dan sesaat yang terorganisir dan terkendali.

Melihat peristiwa ini pantas dibilang sebagai by design politik yang penuh konspiratif atas peran dan fungsi DPRD itu sendiri. DPRD sebagai wakil rakyat yang lahir dari rahim rakyat melalui pemilihan umum telah membuat kemaksiatan secara sengaja dari kegagalan paripurna tersebut.

Padahal, setiap agenda dan kegiatan DPRD selalu mengacu pada agenda Banmus yang sudah disepakati bersama dan wajib dilaksanakan,ternyata pelaksanaannya gagal. Apalagi agenda tersebut adalah paripurna yang merupakan forum tertinggi dalam mengambil keputusan. Paling utama adalah agenda paripurna tersebut merupakan agenda masyarakat atas aspirasi tentang pembentukan DOB.

Jika ditarik secara empiris, DOB pada beberapa daerah di kabupaten Halsel merupakan agenda yang tertunda sejak tahun 2011 silam. Lalu, saat ini dikumandangkan kembali. Tapi, DPRD memilih untuk menggagalkan dengan alasan tidak memenuhi kuorum 50 plus 1 anggota DPRD yang hadir. Ketidakhadiran puluhan anggota DPRD ini tak salah jika dinobatkan sebagai kemaksiatan politik yang sangat sistematis dan masif.

Jika dianalisis lebih dalam, mempunyai skenario yang diperankan antar fraksi partai politik. Dimana inkonsistensi agenda Banmus dan peran pimpinan DPRD terbaca secara gamblang. Mereka tampak menikmatinya sebagai pemeran utama dan pembantu untuk membelokkan semangat pemekaran muncul di Halsel. Bak orkestra, peran-peran ini dikemas secara rapi sekalogus licik yang dimainkan di belakang panggung politik.

Padahal, agenda paripurna pembentukan pansus DPRD adalah agenda yang telah dipikirkan secara matang. Dengan demikian setiap anggota DPRD telah mengetahui waktu pelaksanaan untuk hadir dan menghormati forum paripurna tertinggi. Jadi sangat mustahil dan tak beralasan seorang anggota DPRD tiba-tiba alpa.

Baca Juga :  Menjaga Togal Busua

Jika ditakar lebih dalam lagi, ketidakhadiran anggota DPRD dalam paripurna pembentukan pansus DOB merupakan sesuatu yang sudah diniatkan. Ini bisa dibuktikan ada tidaknya izin lisan atau tertulis dan surat keterangan sakit bagi anggota DPRD yang tak hadir.

Dalam konteks ini, peran fraksi sebagai perpanjangan tangan partai politik menjadi penting. Sebab fraksi harus mengontrol anggotanya dalam menghadiri setiap paripurna DPRD. Maka dalam pembentukan pansus, fraksi memiliki kewenangan penuh mendistribusikan anggotanya untuk masuk dalam pansus sesuai ketentuan tata tertib. Untuk itu, Ketidakhadiran anggota fraksi dalam pembentukan pansus DOB adalah sikap pembiaran dan pembangkangan dalam forum paripurna yang paling agung.

Kehadiran pimpinan DPRD Halsel yang hanya satu orang di tengah-tengah paripurna merupakan sikap kurang baik. Publik layak melayangkan kritik keras terhadap wakil rakyat yang berselingkuh di balik panggung politik. Apalagi, ketidakhadiran pimpinan DPRD yang merupakan unsur Alat Kelengkapan Dewan (AKD) Banmus yang posisinya juga sebagai pimpinan Banmus, harus hadir dalam paripurna. Karena pimpinan DPRD yang memimpin rapat Banmus ini mempunyai kewenangan menandatangani semua agenda Banmus.

Karena itu, segala bentuk ikhtiar politik dalam mengajak seluruh anggota DPRD untuk menghadiri agenda paripurna, harusnya menjadi prioritas. Apalagi DPRD memiliki grup tersendiri sebagai sarana komunikasi yang di dalamnya terdapat 30 anggota secara terorganisir. Ini dapat dikatakan bahwa ketidakhadiran dua pimpinan dan belasan anggota DPRD dalam paripurna tersebut, merupakan bentuk konspirasi tingkat tinggi yang menggagalkan paripurna dalam pembentukan pansus DOB.

Peristiwa ini, apakah publik masih layak menaruh kepercayaan kepada wakil rakyat yang bersekongkol untuk menggagalkan kepentingan publik ? biarkan waktu menjawabnya dalam lima tahun ke depan. (*)

 

Penulis : Dr. Iksan Subur Karamaha

Editor : Redaksi

Berita Terkait

Pendidikan Tanpa “Akar” di Bumi Fogogoru
UU ITE, Tim Siber dan Penanganan Buzzer-Akun Palsu
Menjaga Togal Busua
Dari Guraici ke Gugus Pulau Makayoa
Catatan Pengukuhan IMM Maluku Utara; Sebuah Otokritik
Makayoa Menagih Janji Nusantara
Bayang-Bayang Slot Zeus, Ancaman Generasi Bangsa
Dibalik Gemerlap Emas PT. TUB Halmahera Barat

Berita Terkait

Minggu, 3 Agustus 2025 - 19:36 WIT

Pendidikan Tanpa “Akar” di Bumi Fogogoru

Sabtu, 26 Juli 2025 - 19:24 WIT

UU ITE, Tim Siber dan Penanganan Buzzer-Akun Palsu

Rabu, 2 Juli 2025 - 15:48 WIT

Menjaga Togal Busua

Jumat, 20 Juni 2025 - 16:52 WIT

Kemaksiatan Politik dalam Kegagalan Paripurna DPRD Halsel

Sabtu, 7 Juni 2025 - 19:07 WIT

Dari Guraici ke Gugus Pulau Makayoa

Berita Terbaru

Aksi Solidaritas 11 Masyarakat Adat Maba Sangaji di depan kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara || Foto : sukarsi_kasedata

Daerah

Bebaskan 11 Warga Adat Maba Sangaji

Rabu, 6 Agu 2025 - 17:31 WIT