Oleh : Irfandi Hairudin
(Pengurus IPMB Kayoa Barat)
Desa Busua merupakan nama sebuah Desa di Kecamatan Kayoa Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, yang berpenghuni padat. Desa Busua dikenal sebagai salah satu benteng penjaga budaya Togal. Budaya ini bukan sekadar pesta atau seremoni sesaat. Ia adalah jantung identitas, warisan sejarah, dan cermin kebijaksanaan masyarakat Makian yang hidup dalam kearifan lokal.
Kini, budaya Togal yang sarat makna filosofi mulai surut, tergeser oleh arus zaman dalam perayaan budaya tanpa makna telah mendominasi ruang sosial di Desa Busua.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini menjadi langkah ikhtiar, perlu dipikirkan secara baik terutama kaum muda. Dimana posisi kita sebagai pewaris nilai-nilai budaya? Apakah kita hanya diam saat pusaka budaya itu lenyap pelan-pelan?, Busua dulu menjadi ikon sebagai salah satu desa yang mampu mempertahankan budya togal. Ini bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah tradisi yang kaya makna filosofis, serta menjadi bagian penting dari identitas kekuatan budaya di Busua.
Sebagai masyarakat desa busua hingga catatan sedarhana ini lahir, karena saya melihat fenomena budaya yang terjadi di Busua hari ini bukan hanya tentang perubahan zaman, melainkan tentang pengabaian nilai. Budaya Togal yang sarat dengan simbol kekuatan, keberanian, dan solidaritas, telah tergantikan oleh pesta joget, orkes tunggal, dan tontonan-tontonan dangkal yang menjauh dari akar budaya. Pergeseran ini tidak bisa dipandang remeh, karena ketika masyarakat lebih memilih hiburan instan ketimbang pelestarian budaya, maka yang terjadi adalah pemutusan sejarah.
Budaya togal memiliki makna dan nilai yang mendalam budaya. Sekali lagi, togal di Desa Busua bukan sekadar perayaan, tetapi juga cerminan dari kekayaan budaya dan identitas masyarakat Makian yang perlu dijaga kelestariannya. Kita harus jujur menyatakan bahwa selama ini, pemerintah desa belum menunjukkan keberpihakan serius terhadap pelestarian budaya.
Program-program kebudayaan nyaris tidak terdengar. Bahkan, tidak ada satu pun perda adat atau regulasi lokal yang menjamin keberlangsungan budaya Togal sebagai kegiatan rutin dan pendidikan budaya. Padahal, dalam Pasal 32 UUD 1945 disebutkan : “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Budaya togal seringkali dihubungkan dengan simbol kekuatan dan keberanian, karena togal sendiri memiliki makna sebagai sesuatu yang kuat dan amat mendalam, dan togal menjadi identitas kekuatan masyarakat di desa Busua.
Disisi lain, dalam dunia pendidikan modern, ada semacam kegelisahan tentang hilangnya pendidikan karakter. Kurikulum nasional sibuk dengan angka dan hasil ujian, tetapi melupakan pembentukan kepribadian dan nilai. Padahal, di desa-desa seperti Busua, pendidikan karakter telah lama hidup dalam bentuk praktik kebudayaan. Togal adalah salah satunya.
Dalam prosesi perayaan budayaTogal, peserta tidak hanya diuji secara fisik,tetapi juga secara moral dan sosial. Ada aturan, etika, dan batasan yang harus dipatuhi. Seseorang yang melanggar akan dikucilkan, bukan karena dendam, tetapi karena melanggar nilai kolektif. Togal membentuk rasa hormat, solidaritas, keberanian, dan ketahanan. Ini adalah “kurikulum hidup” yang jauh lebih efektif dari sekadar teori moral di kelas.
Namun sayangnya, dimensi pendidikan ini tidak diangkat dalam wacana pembangunan desa maupun pendidikan lokal. Sekolah-sekolah di Busua seharusnya menjadikan Togal sebagai alat bantu pembelajaran karakter. Guru-guru bisa mengaitkan pelajaran PPKn, sejarah, bahkan olahraga, dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Togal. Tetapi itu belum terjadi. Di sinilah pentingnya sinergi antara sekolah, desa, dan tokoh budaya
Pemerintah desa busua perlu meningkatkan nilai nilai budaya togal dan agar tidak hilang atau berubah. Solusi dari persoalan ini tidak bisa bersifat reaktif atau insidental. Harus ada desain strategis yang menjadikan budaya Togal sebagai bagian dari pembangunan desa. Berikut beberapa saran konkrit yang bisa dijalankan:
- Revitalisasi Kalender Budaya Desa Pemerintah desa perlu menetapkan hari khusus dalam setahun sebagai Hari Budaya Togal. Ini tidak hanya seremoni, tapi momentum edukatif yang melibatkan sekolah, lembaga adat, dan masyarakat umum.
- Integrasi dalam Kurikulum Pendidikan Lokal Sekolah dasar dan menengah di Busua harus diberikan materi muatan lokal tentang budaya Togal—baik dalam bentuk sejarah, praktik, maupun nilai filosofisnya.
- Pendokumentasian dan Digitalisasi Budaya Togal Generasi muda hari ini hidup dalam era digital. Maka, Togal harus dikenalkan dalam bentuk dokumenter, buku budaya, bahkan konten-konten media sosial yang bermutu.
- Kemitraan dengan Kementerian Kebudayaan Mengacu pada visi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang pelestarian budaya daerah, desa Busua bisa menjalin kemitraan program revitalisasi adat lokal. Kementerian sendiri dalam berbagai rilisnya menegaskan pentingnya “memperkuat identitas budaya lokal untuk memperkuat budaya nasional.”
- Pembentukan Lembaga Pelestari Budaya Togal Sebuah badan adat atau lembaga budaya yang fokus pada pengembangan dan pelestarian Togal perlu dibentuk. Ini bisa dikelola oleh pemuda, atau tokoh masyarakat, dan didukung anggaran desa.
Jika beberapa poin itu terwujud, maka budaya togal dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan warisan budaya khususnya di desa Busua. Kita tidak bisa bersembunyi di balik alasan “zaman sudah berubah ” Budaya tidak untuk ditinggalkan, melainkan disesuaikan.
Jika budaya Togal dibiarkan hilang, maka generasi selanjutnya hanya mengenal Busua sebagai desa biasa. Bukan sebagai penjaga kebudayaan orang Makian. Seperti diungkapkan oleh Sukarno dalam pidatonya tahun 1951: “Jangan sekali-kali melupakan jati diri bangsa ini. Dari kebudayaan, kita membentuk karakter. Dari karakter, kita membangun peradaban.”
Akhir catatan sedarhana ini, saya ingin tegaskan dan mengingatkan bahwa budaya Togal adalah jati diri masyarakat Busua. Kehilangannya adalah kemunduran total, bukan kemajuan. Maka, selamatkan Togal—sebelum ia hanya tinggal nama. (*)
Penulis : Irfandi Hairudin
Editor : Redaksi