Kasedata.id – Dukungan terhadap pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi semakin menguat. Hal ini dibuktikan dengan aksi unjuk rasa damai yang digelar warga Oba, Kota Tidore Kepulauan (Tikep), yang menyuarakan dukungan terhadap Pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam mendorong pemekaran wilayah Sofifi sebagai DOB.
Ratusan masa aksi yang menggelar demonstrasi Selasa, 21 Juli 2025 kemarin di depan Kantor Gubernur Malut di Sofifi tersebut sekaligus menjadi bantahan atas pernyataan Wali Kota Tikep, Muhammad Sinen, dalam aksi damai beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa masyarakat Oba menolak pembentukan DOB Sofifi.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI), Rusdi Yusuf, menyebut pernyataan tersebut tidak hanya menyesatkan tetapi juga bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.
“Mayoritas masyarakat, khususnya dari wilayah Oba, justru mendukung pembentukan DOB Sofifi. Wali Kota bahkan diduga mengarahkan ASN dan kepala desa untuk menyatakan penolakan dengan dalih-dalih yang tidak mendasar,” ucap Rusdi Yusup, begitu di konfirmasi kasedata.id, Rabu (23/7/2025).
Menurutnya, pembentukan DOB Sofifi merupakan amanat konstitusional yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, di mana Pasal 9 menyatakan bahwa Ibu Kota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi. Namun hingga kini, status administratif Sofifi belum sejalan dengan kedudukannya sebagai ibu kota provinsi.
“Undang-Undang sudah menyatakan secara tegas bahwa Sofifi adalah ibu kota. Namun secara administratif, wilayah ini masih menjadi bagian dari Kota Tidore Kepulauan. Ini menciptakan ketimpangan tata kelola pemerintahan dan menghambat pembangunan,” jelasnya.
Putra asal Desa Talagamori, Kecamatan Oba, yang berkiprah di Jakarta itu menegaskan, segala bentuk penolakan terhadap status Sofifi sebagai ibu kota maupun DOB justru berpotensi menghambat amanah Undang-Undang dan memperlambat pembangunan yang telah digariskan sejak terbentuknya Provinsi Maluku Utara.
“Sofifi adalah ibu kota konstitusional. Segala penolakan terhadapnya bukan hanya bertentangan dengan semangat pembangunan, tapi juga dengan konstitusi,” tegasnya.
Meski begitu, Rusdi mengingatkan bahwa proses menuju DOB harus berjalan melalui mekanisme hukum yang benar, mengedepankan pendekatan persuasif, dan melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat lokal, pemangku adat, serta unsur pemerintah kota dan provinsi.
“Dialog terbuka harus menjadi ruang utama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Jangan sampai kepentingan politik sesaat justru mengorbankan masa depan daerah ini,” tutupnya. (*)
Penulis : Ilham
Editor : Redaksi